Sunday, May 15, 2011

Awan, Malaikatku?

Prologue

Senja masih menyisir langit dengan manis. Sedang aku masih terduduk menatap jauh langit tak bertepi.

“Huft. Aku bosan malaikatku. Sepi nggak ada kamu. Kenapa si tiap senja kamu ikut beranjak.” Gerutuku.

Aku segera beranjak menuju motor kesayanganku. Aku mulai mencari telfon genggamku. Mencari nomer telfon yang kumau. Dan mulai menekan tombol dial.

“Damn! Sibuk terus. Kenapa sih kalo mulai malam dia selalu ilang gini. Telpon pasti dimatiin.”

Dengan segera kunaiki motor roda tiga modifanku. Aku melajukan motorku sekuat – kuatnya. Berharap bisa mengejar segalanya, ku percepat lajuku. Namun sepertinya usahaku sia – sia. Aku tak bisa menemukan apapun. Segera saja aku bertambah kesal dan mulai menyumpah – nyumpah. Malam ini masih seperti malam biasanya. Aku masih tak dapat menemukannya.

Aku pun tak habis pikir kenapa tiba – tiba aku menjadi terobsesi dengannya. Padahal pertemuan kita cukup singkat. Malahan kita hanya sesekali bertemu. Tapi rasanya satu pertemuan itu telah merubah duniaku. Saat itu..

-nIx-



Pantai ini tampak terlalu senyap untuk ku. Tapi setidaknya ini yang kubutuhkan. Aku memarkirkan motor kesayanganku dan melangkah menyisiri pantai ini. Tak ada lagi yang mungkin kupikirkan. Aku mulai tak ingin hidup lagi. Bahkan sepertinya semuanya begitu menyakitkan. Aku mulai membenci segalanya.

Seolah hanya uang yang ada di dalam kepala orang tuaaku. Aku telah bosan dengan kehidupanku sendiri. Andai saja aku bisa, mungkin aku telah menyusul semua orang yang kucintai, pergi begitu saja meninggalkan semua fata morgana dunia ini.

Ombak sore ini terlihat begitu bebas, bagaimanakah rasanya mengikuti ombak yang sebebas ini. Kumajukan diriku, begitu dekat dengan ombak – ombak yang semakin membesar. Seolah tangan – tangan kecil mereka menyeka wajahku lembut. Aku menyukainya. Berdiri di tepian pantai seperti ini. Di puncaknya yang tinggi. Begitu dekat dengan ombak – ombak ku yang begitu indah menari. Seolah begitu dekat dengan kebebasan. Sendiri.

Cowok itu begitu saja menarikku dengan tangkas dan diam. Selangkah lagi mungkin aku akan jatuh ke laut bebas, seperti yang mungkin saja kuinginkan. Biasanya tak seperti itu, entah mengapa kali ini batasku hilang. Dan orang itu hanya menatap kedua mataku seolah memohon tak melakukan nya lagi. Dalam diam dia menyeka wajah ku, menyibak rambutku, dan berkata lirih.

“Aku tau kau baik – baik saja.”

Datar, namun seolah begitu yakin dan mengerti dengan apa yang dia ucapkan.

“Kau tak tau apa – apa!” Teriakku.

Aku menangis. Dan lagi – lagi dia hanya diam saja melihatku. Matanya menyiratkan banyak hal, namun wajahnya begitu datar. Dia melihatku menangis. Dia memelukku hangat. Menenangkan tangisku tanpa satu katapun. Aku terkesima sejenak, dan menatapnya. Yang kulihat hanya rasa hangat. Aku tak tau siapa orang ini. Malaikatkah?

-nIx-


to be continued

Sayap – sayap yang kunanti

Prologue,,
Nixie memandang nanar kedua orang tuanya. Dia sendirian sekarang dirumah. Padahal anak ini baru berumur tiga tahun.
Seharusnya aku tak mengerti dan tak mau mengerti. Namun takdir berkata lain, keabnormalanku membuatku mengerti semuanya. Meskipun masih secara mendasar. Namun apakah aku akan memahami segalanya tepat pada waktunya nanti saat aku sudah besar. Otakku penuh tanda tanya. Dan segalanya mulai sunyi.




“Damn!!” teriak ku.
Aku masih tak mengerti. Apa didunia ini tidak ada kesempurnaan. Orang lain selalu menganggapku sempurna. Tapi yang kutahu semua kesempurnaan ku palsu.
Tengukku bergetar. Aku ingin menangis begitu saja. Tapi tertahan. Aku hanya terdiam dalam pelukan sosok itu. Sosok yang begitu ku kagumi.
Andai saja sosoknya milikku. Mungkin pandanganku tentang kesempurnaan akan sedikit berbeda. Namun sekali lagi bahkan bayangnya pun seolah bukan untuk ku.
“sudah kah sedihnya manis? Kakak rindu senyum mu.”
Ucap kak sofyan, dan mengusap lembut kepalaku. Aku mendongak. Memperlihatkan cengiran terbesarku, dan tersenyum padanya. Setelah membalas senyumanku, memelukku erat sekali lagi, kak sofyan menggandengku.
Semuanya tanpa kata. Namun pesan nya yang penuh sayang selalu tersampaikan padaku. Kak sofyan menyayangiku, menghargai kesempurnaan sekaligus kekuranganku, selalu ada saat ku membutuhkannya.
Namun entah kenapa kami tak pernah bisa saling memilikiku. Imajiku tentangnya tak terbatas. Dia sosok malaikat impianku. Dan hadir begitu saja dalam hidupku. Seolah Tuhan begitu baik padaku.
Jarak kami terlampau jauh. Sepuluh tahun. Tapi aku begitu menyayanginya. Mengaguminya.
“yuk, belajar lagi. Jangan sedih lagi ya? Kakak nanti sedih juga liatnya. Nggak mau kakak sedih kan?”
Aku menggeleng kuat. Dan sosok itu tersenyum padaku. Aku bahagia.
Sedang tahun dan waktu berlalu begitu cepat. Aku semakin menyadari apa yang terjadi dalam hidupku. Tingkat depresiku semakin tinggi. Namun sosok itu masih menemaniku. Tak pernah beranjak. Sesekali berbicara padaku, menghibur tangisku. Aku melihat dunia dari kasih sayangnya.
-nIx-
“kamu nggak tau ya ni? Kamu sama dia beda dunia!” jelas naida, kakakku.
“Ni nggak mau tau! Kakak selalu nemenin ni kapanpun ni mau! Ni nggak mau tau kalo kakak beda dunia! Na bohong sama ni! Ni ngeliat kakak sama kayak yang laen! Na nggak tau apa – apa!” teriakku murung. Sosok itu tersenyum murung memandangku penuh arti. Dia mendengar semuanya. Dia mengetahui segala yang ku bicarakan.
“kamu harus sadar! Itu kelebihan kamu ni! Kamu harus bisa bedain! Nggak selamanya kamu hidup kayak gini! Realistis ni! Kalian nggak bisa idup bersama!” debat na lagi.
“kalo kakak beda dunia sama ni, kenapa na juga bisa liat? Kenapa na juga tau!” teriakku
“na udah bilang! Na kayak kamu! Sadar ni! Kamu emang dikaruniai buat bisa ngeliat dunia mereka, tapi nggak buat hidup bareng mereka. Kita beda dunia. Kamu harus ngehargain itu. Tanya sendiri sama kakakmu kalo nggak percaya.” Tantang na.
Aku mulai memandang sosok itu penuh tanya. Ia tersenyum murung dan mengangguk. Mengiyakan apa yang na katakan. Aku tak siap menerimanya. Bahwa sosok itu bukan milikku. Tatapku kosong. Tubuhku bergetar. Aku kehilangan. Kehilangan yang tak seharusnya. Seharusnya aku tak pernah memahami segalanya. Aku ingin menyesali kelebihanku. Tapi aku tak pernah diajari kata menyesal.
Sosok itu mulai berbisik padaku. Bahwa aku telah dewasa dan seharusnya tahu segalanya. Bahwa sudah waktunya dia pergi. Aku ingin merengkuhnya seperti dulu. Namun aku mengerti, tak seharunya kulakukan itu. Na merengkuh tubuhku dan berkata bahwa na akan menjagaku saat kak sofyan tidak ada.
“kakak nggak beneran pergi. Kakak cuman nggak mau kamu ngeliat apa yang seharusnya nggak kamu liat. Kakak bakal tetep ada disamping kamu kok. Kalau kakak pergi nanti, kamu nggak bisa ngeliat yang kayak kakak lagi. Tapi kamu tetep bisa ngerasain kalau kakak ada disamping kamu. Jangan sedih lagi. Kakak nggak suka. Suatu saat nixie bakal dapet malaikat beneran. Kakak bakal nunggu sampai malaikatnya dek dateng. Kakak sayang kamu.”
Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah diucapnya. Dan hari itu pertama kalinya aku menangis setelah sekian lama. Air mataku mengalir begitu saja. Tubuhku bergetar hebat. Aku tak mau mengerti. Gumamku berkali – kali.
Satu tahun berlalu. Aku duduk di atas kasur rumah sakit. Entah kenapa semakin banyak masalah yang kudapat tubuhku tak dapat menerimanya. Aku semakin sering keluar masuk rumah sakit. Namun keadaan ku sedikit terhibur dengan adanya internet,laptop, dan sahabat kesayanganku.
Wahyu qsruh : sakit lagi ia?
Nixie : ia ne. humb.
Wahyu qsruh : jangan sakit lagi ia? Ntar q sedih klo kmu sakit
Nixie : humb. Iah diusahain.
Orang ini, sikapnya begitu tidak asing bagiku. Aku merasa nyaman. Entahlah kita bersahabat baik beberapa bulan yang lalu. Namun entah mengapa aku merasa telah mengenalnya begitu lama. Entah mengapa aku begitu menyayanginya. Menyayanginya begitu saja.
Dan entah mengapa, semakin aku menyayangi orang ini semakin jarang aku merasakan kehadiran kak sofyan. Namun aku merasa tak terganggu dengan hal itu. Ah, jangan – jangan orang ini…





Epilogue,,
Beberapa bulan kemudian rian memintaku menjadi kekasihnya. Aku semakin yakin akan kehadiran orang ini. Bagiku sosok rian cukup untuk menggantikan segalanya. Cukup bagiku untuk menjadi alasan ku bangkit sekali lagi. Untuk mencoba percaya sekali lagi. Untuk sekali lagi memahami hidup. Dan meyakinkan diriku bahwa dialah malaikat yang selama ini kutunggu…


-nIx-